Minggu, 11 Maret 2012

PENERIMA ZAKAT


Para Pembayar, Pengelola (Amil) dan Penerima Zakat

PENDAHULUAN
Dalam menyalurkan harta bagi orang yang mampu kepada orang yang membutuhkan, dalam Islam ada beberapa istilah yaitu zakat, infak dan shodaqoh. Kegiatan tersebut pada hakekatnya merupakan kewajiban seorang muslim yang berfungsi membersihkan harta yang dimilikinya serta merupakan sarana yang dipersiapkan oleh syariat untuk mengokohkan ukhuwah, sekaligus sebagai sarana menciptakan keamanan sosial. Zakat adalah salah satu rukun yang bercorak sosial ekonomi dari lima rukun Islam, sebab zakat mempunyai kedudukan yang penting, karena ia mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai ibadah mahdhah fardiyah (individual) kepada Allah untuk mengharmoniskan hubungan vertikal kepada Allah, dan sebagai ibadah mu'amalah ijtima'iyyah (sosial) dalam menjaga hubungan horizontal sesama manusia. Zakat merupakan sistem dan instrumen orisinil dari sistem ekonomi Islam yang bertugas mendistribusikan kekayaan pada golongan masyarakat yang membutuhkan, dengan keyakinan bahwa tiap harta yang didapatkan oleh seseorang terdapat didalamnya hak para fakir miskin dan orang-orang yang kekurangan (8 asnaf).
Zakat bukan hanya membersihkan jiwa dan harta, tetapi zakat dapat berperan aktif mengentaskan dan ebersihkan penyakit-penyakit social, seperti kemiskinan, kebodohan, dan lain-lain. Zakat juga dapat diarahkan kepada upaya peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM). Untuk mewujudkan hal itu, maka pengelolaan zakat yang professional, amanah, transparan dan proporsional menjadi keharusan dan tidak bisa ditawar lagi. Salah satu unsure yang paling dominan adalah lahirnya beberap konsep dan pemikiran baru yang positif dan konstruktif yang dapat dijadikan sebagai landasan teoritis  bagi peningkatan pengelolaan zakat. Salah satu kegiatan yang langsung berhubungan dengan mustahiq mempunyai peranan yang cukup besar dalam menciptakan faedah adalah distribusi atau penyaluran dana zakat.


PEMBAHASAN
Pembayar Zakat: Zakat tidak wajib bagi non-muslim
Ada 2 syarat wajib zakat, yaitu yang pertama menyangkut orang dan yang kedua berkenaan dengan harta. Syarat yang berkenaan dengan orang yang wajib zakat, para ulama bersepakat bahwa mengeluarkan zakat itu wajib atas setiap muslim yang sudah baligh –dan berakal dan tidak wajib atas non muslim– karena zakat adalah salah satu rukun Islam. Ini berdasar pesan Rasulullah saw. kepada Mua’dz bin Jabal saat mengutusnya ke Yaman, “… beritahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan zakat yang diambil dari para orang kaya dan dibagikan kepada para orang fakir.” (muttafaq alaih). Artinya zakat adalah kewajiban yang tidak diwajibkan kepada seseorang sebelum masuk Islam. Meskipun zakat itu adalah kewajiban sosial yang dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat, tetapi zakat merupakan ibadah dalam Islam, dan makna ibadah inilah yang lebih dominann sehingga tidak diwajibkan atas non muslim.
Bagi non muslim tidak wajib berzakat, karena zakat itu adalah suatu ibadah yang mensucikan atau membersihkan harta. Menurut Imam Syafi’i seorang murtad wajib mengeluarkan zakatnya seperti dia Islam, sepanjang harta tersebut diperoleh sebelum dia murtad atau kafir. Sedangkan menurut Imam Hanafi kewajiban zakat bagi murtad gugur.
Dalil tidak bolehnya memberikan zakat kepada non muslim, adalah sabda Nabi SAW kepada Muadz bin Jabal RA yang diutus oleh Nabi SAW ke Yaman :
“…Maka beritahukanlah kepada mereka, bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka zakat pada harta-harta mereka, yang diambil dari orang-orang kaya mereka [di kalangan muslim]  dan dibagikan kepada orang-orang fakir mereka (di kalangan muslim).” (HR Muttafaq ‘Alaih)

Namun kepada non muslim yang fakir boleh diberi harta selain zakat, seperti shadaqah, kaffarah, nadzar, dan lain-lain. Demikian pendapat Imam Abu Hanifah, Muhammad bin Al-Hasan, dan Zufar.[1] Hal itu berdasarkan keumuman lafazh “al-fuqara`” (orang-orang fakir) pada nash-nash Al-Qur`an, seperti dalam firman-Nya (artinya) :
“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Baqarah: 271).

Perbedaan Pendapat tentang Zakat Anak-anak dan Orang Gila
Mengenai persyaratan terhadap orang-orang yang wajib mengeluarkan zakat kekayaan (harta) mereka itu, khususnya pada zakat kekayaan anak-anak serta orang gila para ulama berbeda pendapat, karena tidak adanya dalil dari al-Qur'an maupun hadis-hadis Nabi yang memberikan keterangan (dalil) yang jelas.
Imam Hanafi tidak mewajibkan zakat kekayaan ini atas dasar bahwa zakat tersebut adalah hak Allah, sedang Imam Syafi'i mewajibkan atas dasar hak fakir miskin, perbedaan pendapat (ikhtilaf) para fuqaha, hal ini disebabkan karena perbedaan logika dan metode istinbath mereka dalam memahami suatu dalil, yang berimplikasi pada perbedaan ketetapan hukum terhadap suatu masalah. Perbedaan-perbedaan pemahaman hukum seperti itu banyak kita jumpai dalam konteks hukum klasik (salaf) dan konteks hukum dewasa ini.
Abu Hanifah berpendapat tentang harta anak kecil dan orang gila bahwa tiada zakat pada hartanya keculai sepersepuluh tanaman dan buah-buahan, dan dalilnya firman Allah SWT. (ambillah dari harta-harta mereka sebagai shodaqah untuk membersihkan dan mensucikan baginya) anak kecil dan orang gila tidak termasuk orang yang layak dibersihkan karena tiada dosa atas keduanya. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat zakat diwajibkan atas orang yang merdeka, yang memiliki harta dengan kepemilikan sempurna, termasuk anak kecil, orang gila maupun perempuan. Semuanya memiliki kewajiban yang sama dalam mengeluarkan zakat. Hal ini sebagaimana wajibnya mereka mendapatkan harta yang sudah lazim. Yakni jinayah, warisan atau nafkah atas orang tua ataupun anak yang sakit, baik harta itu berupa binatang ternak, tanaman maupun zakat fitrah.
Antara Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i sama-sama menggunakan surat at-Taubah ayat 60 sebagai pijakan dalam mengkaji masalah zakat anak kecil dan orang gila. Perbedaan yang terjadi hanya dalam penafsiran ayat tersebut. Dari pemaparan di atas, terdapat persamaan dan perbedaan dalam menggunakan sumber hukum Islam. Persamaan dapat dilihat dari dalil yang digunakan oleh keduanya. Abu Hanifah maupun Syafi'i sama-sama menggunakan surat at-Taubat ayat 60 sebagai dalil al-Qur'an dalam masalah zakat anak kecil dan orang gila. Begitu juga dengan hadits, beberapa hadits yang digunakan juga sama. Perbedaannya terletak pada penafsiran terhadap al-Qur'an dan hadits tersebut, yang pada akhirnya menghasilkan produk hukum yang berbeda. Perbedaan pendapat yang terjadi antara keduanya sama-sama memiliki argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan dalil-dalil yang dapat diakui kebenarannya.

Pengelola (amil) Zakat
Sasaran zakat setelah fakir miskin ialah, para amil zakat, yang dimaksud amil zakat ialah mereka yang melaksanakan segala kegiatan urusan zakat, mulai dari para pengumpul sampai kepada bendahara dan para penjaganya, juga mulai dari pencatat sampai kepada penghitung yang mencatat keluar masuk zakat, dan membaginya kepada mustahiknya.
            Supaya zakat dapat terselenggara dengan baik, maka Negara atau pemerintah bertanggung jawab untuk membentuk petugas zakat maupun lembaga zakat yang teratur dan berkesinambungan. Negara berkewajiban mengatur dan mengangkat orang-orang yang secara khusus menangani masalah zakat yang terdiri dari para pengumpul zakat, penyimpan, penulis, penghitung, pembagi zakat, dan sebagainya. Petugas yang dikenal dengan amil zakat, nantinya bertugas mensensus orang-orang yang wajib berzakat, macam harta yang mereka miliki dan berapa besar zakatnya, menagih para wajib zakat, kemudian menyimpan dan menjaganya untuk selanjutnya diserahkan kepada petugas distributor zakat untuk dibagikan kepada mereka yang berhak menerimanya.
            Untuk mencapai keidealan terlaksananya zakat, orang-orang yang ditunjuk untuk mengurusi masalah zakat (‘amil) harus mempunyai syarat-syarat, seperti:
1.      Beragama Islam
2.      Sudah Dewasa (mukallaf)
3.      Sehat akal fikirannya
4.      Jujur
5.      Memahami hukum-hukum zakat
6.      Mampu melaksanakan tugas dan lain sebagainya.[2]

Delapan Asnaf penerima Zakat
Orang-orang yang  berhak menerima zakat hanya mereka yang ditentukan oleh Allah SWT. seperti yang disebutkan dalam firman-Nya (QS.At-taubah:60) yang artinya:
sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-oranng fakir.orang-orang miskin,pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya,(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang untuk jalan  Allah  dan orang- orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.”
                Berikut keterangan rincinya tentang delapan asnaf penerima zakat.
1.    Orang Fakir
Orang fakir yaitu orang yang tidak mempunyai harta, pekerjaan dan usaha atau orang yang memiliki harta, pekerjaan dan usaha tetapi hasilnya sangat kecil sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
2.    Orang Miskin
Orang miskin  yaitu orang yang mempunyai harta, pekerjaan dan usaha tetapi hasilnya masih belum mencukupi keperluan hidupnya, namun tidak kekurangan seperti orang fakir.
3.    Amil Zakat
Amilin yaitu orang-orang yang bertugas untuk mengumpulkan zakat dari orang-orang yang berzakat, dan membagikanya kepada orang-orang yang berhak. Amilin atau panitia itu berhak mendapat bagian dari zakat itu, sebagai imbalan jaga tugas mereka.
4.    Para Mu’allaf yang Dibujuk Hatinya
Orang-orang mu’allaf yang dibujuk hatinya ialah orang-orang dari kaum kafir atau dari kaum muslimin, yang diberi zakat bukan karena alasan mereka kafir, tetapi supaya orang-orang itu tertarik dengan islam.
     Kelompok orang kafir ada dua:
·         Orang-orang kafir yang diharapkan mau masuk islam. Mereka perli diberi zakat supaya niat dan kecenderungan mereka kepada islam semakin kuat. Seperti yang dilakukan oleh nabi SAW pada Shafwan bin umayyah pada perang Hunain, beliau memberikan seekor unta pengangkut kepadanya. Semula shafwan keras kepala untuk tetap kafir namun setelah kejadian tersebut ia masuk islam.
·         Orang-orang kafir yang kejahatanya kepada kaum muslimin sangat dikhawatirkan. Dengan diberi zakat diharapkan mereka mau menghentikan kejahatannya.
5.    Budak
Hasil zakat yang diambil untuk membeli budak yang dimiliki majikannya, kemudian dimerdekakan. Atau diberikan secara langsung kepada budak yang bersangkutan supaya mengadakan akad mukatab dengan tuannya untuk mendapatkan status kemerdekaanya.
6.    Orang-orang yang Berhutang (Al-Garimin)
Al- Garimin yaitu orang-orang yang berhutang karena kegiatanya dalam urusan kepentingan umum. Menurut imam Syafi’i golongan Al- Garimin ada 2 macam:
Ø  Orang-orang yang harus berhutang demi memenuhi kebutuhan yang bersifat pribadi atau karena kegiatan yang tidak bersifat  maksiat.
Ø  Orang-orang yang berutang untuk menanggulangi biaya mendamaikan antara pihak-pihak yang berselisih.
7.    Fi sabilillah
Fi sabilillah yaitu orang-orang yang berjuang di jalan Allah. Sabilillah ini meliputi kepentingan agama islam dan umatnya. Orang yang berperang membela dan menegakan kalimat Allah, mendapat bagian zakat apabila tidak di gajih atau tentara sukarela walaupun ia adalah orang kaya, diberikan zakat itu  untuk sekedar biaya perang.
8.    Ibnu Sabil
Ibnu Sabil adalah orang-orang yang mengadakan perjalanan jauh dari kampung halamanya. Mereka mendapat bagian zakat apabila memerlukanya dan perjalananya bukan perjalanan maksiat.
Demikianlah keterangan orang-orang yang berhak menerima zakat. Oleh karena itu, panitia zakat harus harus menyalurkan zakat sesuai yang telah tercantum di dalam kitabullah dan didalam sunah Rasulnya.

Beberapa Pendapat Tentang Pembagian Zakat Kepada 8 Asnaf dengan Bagian Sama Rata
Dalil mengenai batasan orang-orang yang menerima zakat tertuang dalam Q.S. At-Taubah: 60. Dalam ayat tersebut menisbatkan kepemilikan semua harta zakat dinyatakan dengan huruf lam untuk menyatakan kepemilikan dan masing-masing kelompok memiliki hak yang sama yang dihubungkan dengan huruf wawu yang menunjukkan kesamaan tindakan.
1.        Fakir (fuqara’) dan miskin (al masakin)
Al-Fuqara’ adalah kelompok pertama yang menerima zakat. Al-Fuqara’ dari kata al-faqir. Mereka tidak memiliki pekerjaan atau mempunyai pekerjaan tetapi penghasilan mereka kecil sehingga tidak dapat memenuhi setengah dari kebutuhannya. Menurut madzab Syafi’i dan Hanbali, al-faqir adalah orang yang tidak memiliki harta benda dan pekerjaan yang mampu mencukupi kebutuhannya sehari-hari serta tidak memiliki saudara ataupun kerabat.
            Al-Masakin adalah bentuk jamak dari al-miskin yang mendapatkan zakat yang merupakan kelompok kedua setelah fuqara’. Mereka memiliki pekerjaan namun dari hasil bekerjanya mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan hajat hidunya.  Definisi tersebut menjelaskan bahwa orang fakir lebih membutuhkan daripada orang miskin. Berikut ini pendapat menurut kadar yang diberikan fakir dan miskin untuk mereka yang mempunyai pekerjaan dan mereka yang tidak memiliki pekerjaan:
a.       Mereka yang memiliki pekerjaan diberikan zakat untuk pekerjaan atau sarana peningkatan pekerjaannya yang diukur menurut kebutuhan umum sajauh pekerjaan itu mendapatkan keuntungan. Kebutuhan dapat berbeda menurut kondisi, waktu, dan tempat.
b.      Mereka yang tidak memiliki pekerjaan mereka diberi zakat sesuai kebutuhannya.
Sebagian ahli fiqh ada yang memasukkan orang yang menghabiskan waktu mereka untuk menuntut ilmu dalam kategori fuqara’. Walaupun mereka mampu bekerja maka mereka diberi zakat. Namun bagi mereka yang hanya menghabiskan waktunya hanya untuk beribadah saja tidak termasuk dalam kategori fuqara’, karena perbuatan ini hanya untuk dirinya sendiri.
2.        Amil
Amil adalah para pekerja yang telah diserahi oleh para penguasa atau penggantinya untuk mengambil harta zakat dari manusia, mengumpulkan, menjaga dan memindahkannya[3]. Meski mereka kaya mereka juga mendapatkan bagian zakat karena telah berjerih payah membantu mengumpulkan zakat.
Dari Bisyr bin Sa’id bahwa Ibn Sa’di Al Maliki berkata:”Umar pernah memperkerjakanku dalam pembagian shadaqoh, maka setelah saya selesaikan pekerjaannya dan saya sampaikan kepadanya ia memerintahkan agar saya mengambil imbalan dari pekerjaan itu. Maka saya katakana: ‘Pekerjaan ini hanya untuk Allah”. Umar pun menjawab: “Ambillah apa yang telah diberikan-Nya kepadamu, sesungguhnya dahulu saya pernah menjadi amil di masa Rasullullah, maka beliau pun memberikan bagian dari pekerjaanku, saya ketika itu juga menjawab seperti jawabanmu, kemudian Rasulullah SAW mengatakan kepadaku: “Apabila kamu diberi sesuatu tanpa meminta maka makanlah atau shadaqohkan.” (Muttafaq alaih)[4]. Dalam kitab Nailul-authar, hadits tersebut menunjukan bahwa pekerjaan para petugas pembagi zakat merupakan sebab untuk mendapatkan imbalan.
Sebagian ahli fiqh memperbolehkan memberikan zakat kepada para hakim atau sepadannya kirena diqiyaskan dengan amil yang memberikan manfaat kepada umat secara umum. Namun ada pula yang tidak membenarkan pengqiyasan ini karena keberatan dibolehkannya diberikan kepada orang yang kaya. Secara syar’i dan logika pengembangan pengelolaan zakat dan pembagiannya karena pengembangan kehidupan maka butuh yayasan atau badan.
3.        Mu’allaf
Mu’allaf yaitu para tokoh yang disegani dalam keluarga atau kaumnya dan dapat diharapkan masuk Islam. Mereka adakalanya dari golongan orang kafir maupun muslim. Kelompok orang kafir ada dua macam yaitu orang kafir yang menyakiti kaum muslim agar tidak menyakiti kaum muslim dan orang kafir yang simpati kepada Islam harapannya dengan zakat dapat memeluk Islam. Kelompok orang Islam:
a.       Para tokoh Islam yang mempunyai pengikut orang-orang kafir dan berharap orang kafir memeluk Islam.
b.      Para tokoh yang disegani pengikutnya tetapi keislamannya masih lemah.
c.       Golongan yang berada di beteng-beteng pertahanan. Mereka diberi zakat agar melindungi para muslim disekitarnya.
d.      Golongan yang berpengaruh terhadap lingkungannya, bila diberi zakat dfapat mempengaruhi lingkungannya untuk memberikan zakatnya.
Ahli fiqh berbeda pendapat dalam masalah hukum memberikan zakat kepada mu’allaf setelah Rasulullah wafat, yaitu
a.       Hukum telah dinasakh (dihapus) seperti pendapat Hanafiyah, Syafi’iyyah, malikiyyah,, dan Ibadhiyyah.
b.      Tidak dinasakh karena tidak ada ayat lain yang diturunkan. Pada masa Rasulullah pemberian zakat untuk kaum muslim dan kafir yang membutuhkan. Pada masa Umar, Utsman, Ali hal ini tidak dilakukan karena masyarakat tidak membutuhkan zakat.

4.        Riqab (hamba sahaya)
            Zakat yang diberikan kepada hamba sahaya mukatab dimaksudkan agar dirinya dengan adanya zakat dapat memerdekakan diri dari tuannya. Ada beberapa pendapat mengenai hamba sahaya yang diberikan zakat.
a.       Menurut imam Nawawi, membatasi hanya hamba sahaya mukatab lah yang diberikan zakat.
b.      Dengan harta zakat, imam membeli hamba sahaya kemudian memerdekakannya. Hal ini termasuk dalam golongn imam Malik.
c.       Pendapat fiqh baru, Al-Ustadz Mahmud Syaltut ra. Memperbolehkan bagian hamba sahaya dipergunakan para pejuang untuk mencapai kemerdekaan bangsanya.[5]
d.      Zakat dipergunakan untuk menebus tawanan muslim untuk membebaskannya.
e.       Makna yang menyimpang dari firman Allah “Arriqab” yaitumenurut Muhammad Jawad Riqab yang diatas namakan kepada Ja’far Ashshaddiq ra. Dalam kitab fiqih Imam Ja’far Ashshaddiq adalah suatu kaum yang mempunyai kewajiban membayar kafarat dalam pembunuhan sengaja, dhihar, sumpah dan membunuh hewan buruan di tanah haram mereka ini muslim yang tidak mampu membayar, maka mereka mendapat bagian shadaqoh untuk membayarnya.
f.       Pendapatnya menyimpang karena bertentangan dengan hadits. Khabar ini tidak layak diatas namakan kepad Ja’far Ashshiddiq karena beliau bukan musnad[6].
5.        Gharim (orang yang hutang)
Gharim adalah orang yang berhutang dan tidak digunakan untuk bermaksiat seperti hutang untuk dirinya, anak, dan istri juga termasuk hutang untuk menjalankan perintah Allah (haji, umrah, pembiayaan perkawinan). Seseorang yang berhutang demi kepentingan umum untuk mendamaikan orang lain. Beberapa pendapat mengenai gharim adalah
a.       Orang yang berhutang lebih didahulukan diberi harta zakat dari pada orang kafir karena kehidupan mereka yang tidak tenang karena selalu terbayang hutangnya. Maka dari pada mereka menjual harta bendanya maka lebih baik diberi zakat untuk membayar hutang dan iapun dapat memanfaatkan harta bendanya.
b.      Sebagian ulama seperti al-Ustazd M. Abu Zahrah, membolehkan memberikan hutang yang tidak mengandung riba dari zakat.
6.        Ibnu sabil
Ibnu sabil adalah orang yang terhenti dalam perjalanannya bukan bertujuan maksiat. Perjalanan mereka terhenti karena tidak memiliki bekal demi memenuhi kebutuhan untuk perjalanannya selanjutnya. Harta zakat diberikan kepada ibnu sabil untuk memenuhi kebutuhan makan, pakaian, dan transportasi menuju daerah tujuan meskipun di daerah asal mereka orang kaya. Tidak ada kewajiban bagi ibnu sabil untuk mengembalikan harta zakat ke baitul mal sesampainya mereka ke daerah tujuan.
Syaikh Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa orang-orang yang dipaksa meninggalkan tanah airnya dan terpisah dengan harta bendanya karena dikuasai tentara zalim. Sehingga mereka melarikan diri demi mempertahankan agama dan dirinya, mereka ini masuk dalam golongan ini. Bagi orang yang bermukim di suatu daerah kemudian hartanya habis atau hilang, maka baginya diperbolehkan mengambil bagian harta zakat untuk memenuhi kebutuhannya hingga ia dapat kembali memanfaatkan hartanya.
7.        Sabilillah
Sabilillah adalah satu dari kelompok delapan yang berhak menerima zakat sebagaimana terkandung dalam Q.S. At Taubah: 60. Ada pun pendapat mengenai sabilillah adalah
a.       Fi Sabilillah adalah jihad menurut imam Abu Hanifah dan muridnya Abu Yusuf, Imam Syafi’i, imam Malik. Kelompok Imamiyah menambahkan bagian para pejuang gugur bila tidak ada lagi imam. Menurut mereka imamlah yang menyerukan dan mengkomandani berjihad.
1.      Argumen mereka adalah secara umum dan syara’ Sabilillah diartikan jihad menurut Q.S. At Taubah:111. Dalam kitab Nihayah fi Gharibil Hadits: Assabil pada dasarnya adlah at-thariq bisa di mudzakarkan dan bisa di muannatskan namun lebih sering imuannatskan[7]. Secara umum Sabilillah adalah melakukan dengn ikhlas untuk mendekatkan diri kepada Allah. Jika Sabilillah dimutlakkan maka diartikan jihad. 
2.      Kajian atas argumen di atas bahwa membatasi bagian sabilillah hanya untuk mujahid tidak terdapat pada dalil kitabullah maupun sunnah Nabi. Menurut pendapat kebanyakan, Al Qur’an  ketika berbicara tentang jihad selalu disertai dengan ungkapan Sabilillah, bila dalil dalam ayat shadaqah juga bermakna jihad  maka tidak dapat diterima. Sabilillah bukan hanya diikuti dengan kata jihad tetapi juga nafakah di jalan Allah (Q.S. Al Baqarah: 195), agama (Q.S. Ali Imran: 99), hijrah (Q.S. An Nisa: 100).
b.      Sabda Rasulullah SAW: ‘Tidak dihalalkan shadaqah it bagi orang kaya, kecuali lima (orang kaya) untuk orang yang berperang di jalan Allah, amil, orang yang berhutang, seorang yang memberi zakat dengan hartanya, dan bagi seorang yang mempunyai tetangga miskin, tetapi jika si miskin tersebut diberi zakat, maka dihadiahkan kepada yang membrikannya”[8]. Menurut hadits ini meski yang berperang adalah orang kaya maka tetap berhak menerima zakat.
c.       Pendapat yang lain sabilillah dimaksudkan untuk haji yang merupakan pendapat oleh Muhammad bin Hasan Asy Syaibani ra. murid abu Hanifah. Haji adalah sabilillah karena menunaikan haji berarti mengikuti perintah-perintah dan menaati Allah.
d.      Fi sabilillah adalah menuntut ilmu menurut madzab Hanafiyyah.
e.       Fi sabilillah adalah semua sarana menuju kebaikan dan untuk kepentingan umum.

Golongan yang Tidak Berhak Menerima Zakat
1.  Orang-orang kafir, musyrik, dan atheis.
2. Orang tua dan anak yang meliputi ayah, ibu, kakek, nenek, anak kandung dan cucu laki-laki dan perempuan,
3.  Istri, karena nafkahnya wajib bagi suami,
4. Orang-orang kaya dan orang-orang yang mampu untuk bekerja, sebagaimana sesuai Hadis Nabi SAW, dituangkan dalam (Hadis HR. Ahmad, Nasai dan At Tirmidzi), “Tiada bagian di dalam zakat, untuk orang-orang kaya, dan tiada pula untuk orang-orang yang mampu untuk bekerja”.
5. Keluarga Rasulullah SAW dan karib-kerabatnya, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abdul Muttalib bin Rabiah bin Harks, sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya shadaqah (zakat) itu, tidak halal (haram) bagi Nabi Muhammad SAW dan bagi sanak keluarganya. Karena sesungguhnya zakat itu adalah kotoran manusia”.









PENUTUP
Para ulama bersepakat bahwa mengeluarkan zakat itu wajib atas setiap muslim yang sudah baligh dan berakal dan tidak wajib atas non-muslim karena zakat adalah salah satu rukun Islam. Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang harta anak kecil dan orang gila, apakah perlu dizakati? Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa harta anak kecil dan orang gila tidak wajib dizakati karena melihat kepada pembebanan (taklif) secara umum. Diketahui bersama bahwa anak kecil dan orang gila tidak termasuk orang-orang yang terkenai beban (taklif), maka tidak wajib menzakati harta mereka. Diantara ulama ada juga yang berpendapat bahwa mereka wajib mengeluarkan hartanya karena zakat termasuk hak harta tanpa melihat kepada pemiliknya, karena Allah SWT. berfirman, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.”(At-Taubah: 103). Yang dijadikan sasaran kewajiban adalah hartanya bukan pemiliknya.
Ada delapan golongan yang berhak menerima zakat, yaitu: Fakir, Miskin, Amil, Mu'allaf, Hamba sahaya yang ingin memerdekakan dirinya, Gharimin, Fi sabilillah, Ibnu Sabil. Golongan yang tidak berhak menerima zakat, diantaranya: Orang kaya, Hamba sahaya karena masih mendapat nafkah atau tanggungan dari tuannya, Keturunan Rasulullah, Orang yang dalam tanggungan yang berzakat (anak dan istri) dan Orang kafir.
Dalam Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 dijelaskan prinsip pengelolaan zakat secara profesional dan bertanggungjawab yang dilakukan oleh masyarakat bersama pemerintah. Pemerintah dalam hal ini berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzakki, mustahiq, dan pengelola zakat. Bahwa dari segi kelembagaan tidak ada perubahan yang fundamental karena amil zakat tidak memiliki power untuk menyuruh orang membayar zakat. Mereka tidak diregistrasi dan diatur oleh pemerintah seperti halnya petugas pajak guna mewujudkan masyarakat yang peduli bahwa zakat adalah kewajiban.


Daftar Pustaka
Abdul, Muhammad Qadir Abu Faris. Kajian Kritis Pendayagunaan Zakat. Semarang: Dina Utama.
Al-Qur’an dan Terjemahannya
Al-Qurthubi, Al-Jami’ al Bayan Fi Ta’wil Al-Qur’an, Beirut, Daar el Kuhbal al-Ilmiyah, 1992.
Al-Zuhayly, Wahbah. 1997. Zakat Kajian Berbagai Mazhab. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Asnaini. 2008. Zakat produktif dalam Perspektif Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yusuf Qardhawi. 2002. Hukum Zakat, Cet. VI. alih bahasa Salman Harun, dkk. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.













Makalah ini Dibuat Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Fiqh Zakat

Dosen Pengampu:
M. Yazid Afandi



Disusun oleh:
Kelompok 5 KUI-B

1.    Ayi Rezki Faizan Nur                          (09390045)
2.    Vina Rahmatika Coryaina                   (09390046)
3.    Rafikha Rustianah Mustafidan           (09390052)
4.    Siti Maria Ulfah Taufindrayati            (09390053)
5.    Niken Faramida                                   (09390056)

PROGRAM STUDI KEUANGAN ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA 2011


[1] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 2/883.
[2] Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, Cet. VI, Alih Bahasa Salman Harun, dkk, Bogor, Pustaka Litera Antar Nusa,2002.
[3] Kajian Kritis Pendayagunaan zakat, Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Dina Utama: Semarang, hlm.6.
[4] Ibid hal 6
[5]Abdul, Muhammad qadir abu faris. kajian kritis pendayagunaan zakat. Semarang: Dina Utama, hal 15
[6]Ibid hal 16
[7] Ibid hal 26
[8] Ibid hal 35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar