Para Pembayar,
Pengelola (Amil) dan Penerima Zakat
PENDAHULUAN
Dalam menyalurkan harta bagi orang yang mampu kepada
orang yang membutuhkan, dalam Islam ada beberapa istilah yaitu zakat, infak dan
shodaqoh. Kegiatan tersebut pada hakekatnya merupakan kewajiban seorang muslim
yang berfungsi membersihkan harta yang dimilikinya serta merupakan sarana yang dipersiapkan
oleh syariat untuk mengokohkan ukhuwah, sekaligus sebagai sarana menciptakan
keamanan sosial. Zakat adalah salah satu rukun yang bercorak
sosial ekonomi dari lima rukun Islam, sebab zakat mempunyai kedudukan yang
penting, karena ia mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai ibadah mahdhah fardiyah
(individual) kepada Allah untuk mengharmoniskan hubungan vertikal kepada Allah,
dan sebagai ibadah mu'amalah ijtima'iyyah (sosial) dalam menjaga hubungan
horizontal sesama manusia. Zakat merupakan sistem
dan instrumen orisinil dari sistem ekonomi Islam yang bertugas mendistribusikan
kekayaan pada golongan masyarakat yang membutuhkan, dengan keyakinan bahwa tiap
harta yang didapatkan oleh seseorang terdapat didalamnya hak para fakir miskin
dan orang-orang yang kekurangan (8 asnaf).
Zakat bukan hanya membersihkan jiwa dan harta,
tetapi zakat dapat berperan aktif mengentaskan dan ebersihkan penyakit-penyakit
social, seperti kemiskinan, kebodohan, dan lain-lain. Zakat juga dapat
diarahkan kepada upaya peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM). Untuk mewujudkan
hal itu, maka pengelolaan zakat yang professional, amanah, transparan dan
proporsional menjadi keharusan dan tidak bisa ditawar lagi. Salah satu unsure
yang paling dominan adalah lahirnya beberap konsep dan pemikiran baru yang
positif dan konstruktif yang dapat dijadikan sebagai landasan teoritis bagi peningkatan pengelolaan zakat. Salah
satu kegiatan yang langsung berhubungan dengan mustahiq mempunyai peranan yang
cukup besar dalam menciptakan faedah adalah distribusi atau penyaluran dana
zakat.
PEMBAHASAN
Pembayar Zakat: Zakat
tidak wajib bagi non-muslim
Ada 2 syarat wajib zakat, yaitu
yang pertama menyangkut orang dan yang kedua berkenaan dengan harta. Syarat yang berkenaan dengan orang yang wajib zakat, para ulama
bersepakat bahwa mengeluarkan zakat itu wajib atas setiap muslim yang sudah
baligh –dan berakal dan tidak wajib atas non muslim– karena zakat adalah salah
satu rukun Islam. Ini berdasar pesan Rasulullah saw. kepada Mua’dz bin Jabal
saat mengutusnya ke Yaman, “… beritahukan
kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan zakat yang diambil dari para orang
kaya dan dibagikan kepada para orang fakir.” (muttafaq alaih). Artinya
zakat adalah kewajiban yang tidak diwajibkan kepada seseorang sebelum masuk
Islam. Meskipun zakat itu adalah kewajiban sosial yang dirasakan manfaatnya oleh
seluruh masyarakat, tetapi zakat merupakan ibadah dalam Islam, dan makna ibadah
inilah yang lebih dominann sehingga tidak diwajibkan atas non muslim.
Bagi non muslim tidak wajib berzakat, karena zakat
itu adalah suatu ibadah yang mensucikan atau membersihkan harta. Menurut Imam
Syafi’i seorang murtad wajib mengeluarkan zakatnya seperti dia Islam, sepanjang
harta tersebut diperoleh sebelum dia murtad atau kafir. Sedangkan menurut Imam
Hanafi kewajiban zakat bagi murtad gugur.
Dalil tidak bolehnya memberikan zakat kepada non
muslim, adalah sabda Nabi SAW kepada Muadz bin Jabal RA yang diutus oleh Nabi
SAW ke Yaman :
“…Maka beritahukanlah kepada mereka, bahwa Allah telah
mewajibkan kepada mereka zakat pada harta-harta mereka, yang diambil dari
orang-orang kaya mereka [di kalangan muslim] dan dibagikan kepada
orang-orang fakir mereka (di kalangan muslim).” (HR Muttafaq ‘Alaih)
Namun kepada non muslim yang fakir boleh diberi
harta selain zakat, seperti shadaqah, kaffarah, nadzar, dan lain-lain. Demikian
pendapat Imam Abu Hanifah, Muhammad bin Al-Hasan, dan Zufar.[1]
Hal itu berdasarkan keumuman lafazh “al-fuqara`” (orang-orang fakir)
pada nash-nash Al-Qur`an, seperti dalam firman-Nya (artinya) :
“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah
baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada
orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan
menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa
yang kamu kerjakan.” (QS Al-Baqarah: 271).
Perbedaan
Pendapat tentang Zakat Anak-anak dan Orang Gila
Mengenai persyaratan terhadap orang-orang yang wajib
mengeluarkan zakat kekayaan (harta) mereka itu, khususnya pada zakat kekayaan
anak-anak serta orang gila para ulama berbeda pendapat, karena tidak adanya
dalil dari al-Qur'an maupun hadis-hadis Nabi yang memberikan keterangan (dalil)
yang jelas.
Imam Hanafi tidak mewajibkan zakat kekayaan ini atas
dasar bahwa zakat tersebut adalah hak Allah, sedang Imam Syafi'i mewajibkan
atas dasar hak fakir miskin, perbedaan pendapat (ikhtilaf) para fuqaha, hal ini
disebabkan karena perbedaan logika dan metode istinbath mereka dalam memahami
suatu dalil, yang berimplikasi pada perbedaan ketetapan hukum terhadap suatu
masalah. Perbedaan-perbedaan pemahaman hukum seperti itu banyak kita jumpai
dalam konteks hukum klasik (salaf) dan konteks hukum dewasa ini.
Abu Hanifah berpendapat tentang harta anak kecil dan orang
gila bahwa tiada zakat pada hartanya keculai sepersepuluh tanaman dan
buah-buahan, dan dalilnya firman Allah SWT. (ambillah dari harta-harta mereka
sebagai shodaqah untuk membersihkan dan mensucikan baginya) anak kecil dan
orang gila tidak termasuk orang yang layak dibersihkan karena tiada dosa atas
keduanya. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat zakat diwajibkan
atas orang yang merdeka, yang memiliki harta dengan kepemilikan sempurna,
termasuk anak kecil, orang gila maupun perempuan. Semuanya
memiliki kewajiban yang sama dalam mengeluarkan zakat. Hal ini sebagaimana
wajibnya mereka mendapatkan harta yang sudah lazim. Yakni jinayah, warisan atau
nafkah atas orang tua ataupun anak yang sakit, baik harta itu berupa binatang
ternak, tanaman maupun zakat fitrah.
Antara Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i sama-sama
menggunakan surat at-Taubah ayat 60
sebagai pijakan dalam mengkaji masalah zakat anak kecil dan orang gila.
Perbedaan yang terjadi hanya dalam penafsiran ayat tersebut. Dari pemaparan di atas,
terdapat persamaan dan perbedaan dalam menggunakan sumber hukum Islam.
Persamaan dapat dilihat dari dalil yang digunakan oleh keduanya. Abu Hanifah
maupun Syafi'i sama-sama menggunakan surat at-Taubat ayat 60 sebagai dalil
al-Qur'an dalam masalah zakat anak kecil dan orang gila. Begitu juga dengan
hadits, beberapa hadits yang digunakan juga sama. Perbedaannya terletak pada
penafsiran terhadap al-Qur'an dan hadits tersebut, yang pada akhirnya
menghasilkan produk hukum yang berbeda. Perbedaan pendapat yang terjadi antara
keduanya sama-sama memiliki argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan
dalil-dalil yang dapat diakui kebenarannya.
Pengelola (amil) Zakat
Sasaran zakat setelah fakir miskin ialah, para amil
zakat, yang dimaksud amil zakat ialah mereka yang melaksanakan segala kegiatan
urusan zakat, mulai dari para pengumpul sampai kepada bendahara dan para
penjaganya, juga mulai dari pencatat sampai kepada penghitung yang mencatat
keluar masuk zakat, dan membaginya kepada mustahiknya.
Supaya
zakat dapat terselenggara dengan baik, maka Negara atau pemerintah bertanggung
jawab untuk membentuk petugas zakat maupun lembaga zakat yang teratur dan
berkesinambungan. Negara berkewajiban mengatur dan mengangkat orang-orang yang
secara khusus menangani masalah zakat yang terdiri dari para pengumpul zakat,
penyimpan, penulis, penghitung, pembagi zakat, dan sebagainya. Petugas yang
dikenal dengan amil zakat, nantinya bertugas mensensus orang-orang yang wajib
berzakat, macam harta yang mereka miliki dan berapa besar zakatnya, menagih
para wajib zakat, kemudian menyimpan dan menjaganya untuk selanjutnya
diserahkan kepada petugas distributor zakat untuk dibagikan kepada mereka yang
berhak menerimanya.
Untuk mencapai keidealan
terlaksananya zakat, orang-orang yang ditunjuk untuk mengurusi masalah zakat
(‘amil) harus mempunyai syarat-syarat, seperti:
1. Beragama
Islam
2. Sudah
Dewasa (mukallaf)
3. Sehat
akal fikirannya
4. Jujur
5. Memahami
hukum-hukum zakat
6. Mampu
melaksanakan tugas dan lain sebagainya.[2]
Delapan Asnaf penerima
Zakat
Orang-orang yang
berhak menerima zakat hanya mereka yang ditentukan oleh Allah SWT.
seperti yang disebutkan dalam firman-Nya (QS.At-taubah:60) yang artinya:
“sesungguhnya
zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-oranng fakir.orang-orang
miskin,pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk
hatinya,(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang untuk jalan Allah
dan orang- orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan
yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.”
Berikut
keterangan rincinya tentang delapan asnaf penerima zakat.
1. Orang
Fakir
Orang fakir yaitu orang yang tidak mempunyai harta,
pekerjaan dan usaha atau orang yang memiliki harta, pekerjaan dan usaha tetapi
hasilnya sangat kecil sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
2. Orang
Miskin
Orang miskin
yaitu orang yang mempunyai harta, pekerjaan dan usaha tetapi hasilnya
masih belum mencukupi keperluan hidupnya, namun tidak kekurangan seperti orang
fakir.
3. Amil
Zakat
Amilin yaitu orang-orang yang bertugas untuk
mengumpulkan zakat dari orang-orang yang berzakat, dan membagikanya kepada
orang-orang yang berhak. Amilin atau panitia itu berhak mendapat bagian dari
zakat itu, sebagai imbalan jaga tugas mereka.
4. Para
Mu’allaf yang Dibujuk Hatinya
Orang-orang
mu’allaf yang dibujuk hatinya ialah orang-orang dari kaum kafir atau dari kaum
muslimin, yang diberi zakat bukan karena alasan mereka kafir, tetapi supaya
orang-orang itu tertarik dengan islam.
Kelompok
orang kafir ada dua:
·
Orang-orang kafir yang
diharapkan mau masuk islam. Mereka perli diberi zakat supaya niat dan
kecenderungan mereka kepada islam semakin kuat. Seperti yang dilakukan oleh
nabi SAW pada Shafwan bin umayyah pada perang Hunain, beliau memberikan seekor
unta pengangkut kepadanya. Semula shafwan keras kepala untuk tetap kafir namun
setelah kejadian tersebut ia masuk islam.
·
Orang-orang kafir yang
kejahatanya kepada kaum muslimin sangat dikhawatirkan. Dengan diberi zakat
diharapkan mereka mau menghentikan kejahatannya.
5. Budak
Hasil zakat yang diambil untuk membeli budak yang
dimiliki majikannya, kemudian dimerdekakan. Atau diberikan secara langsung
kepada budak yang bersangkutan supaya mengadakan akad mukatab dengan tuannya
untuk mendapatkan status kemerdekaanya.
6. Orang-orang
yang Berhutang (Al-Garimin)
Al- Garimin yaitu orang-orang yang berhutang karena
kegiatanya dalam urusan kepentingan umum. Menurut imam Syafi’i golongan Al-
Garimin ada 2 macam:
Ø Orang-orang
yang harus berhutang demi memenuhi kebutuhan yang bersifat pribadi atau karena
kegiatan yang tidak bersifat maksiat.
Ø Orang-orang
yang berutang untuk menanggulangi biaya mendamaikan antara pihak-pihak yang
berselisih.
7. Fi
sabilillah
Fi sabilillah yaitu orang-orang yang berjuang di
jalan Allah. Sabilillah ini meliputi kepentingan agama islam dan umatnya. Orang
yang berperang membela dan menegakan kalimat Allah, mendapat bagian zakat
apabila tidak di gajih atau tentara sukarela walaupun ia adalah orang kaya,
diberikan zakat itu untuk sekedar biaya
perang.
8. Ibnu
Sabil
Ibnu Sabil adalah orang-orang yang mengadakan
perjalanan jauh dari kampung halamanya. Mereka mendapat bagian zakat apabila
memerlukanya dan perjalananya bukan perjalanan maksiat.
Demikianlah keterangan orang-orang yang berhak
menerima zakat. Oleh karena itu, panitia zakat harus harus menyalurkan zakat
sesuai yang telah tercantum di dalam kitabullah dan didalam sunah Rasulnya.
Beberapa Pendapat
Tentang Pembagian Zakat Kepada 8 Asnaf dengan Bagian Sama Rata
Dalil mengenai batasan orang-orang yang menerima
zakat tertuang dalam Q.S. At-Taubah: 60. Dalam ayat tersebut menisbatkan
kepemilikan semua harta zakat dinyatakan dengan huruf lam untuk
menyatakan kepemilikan dan masing-masing kelompok memiliki hak yang sama yang
dihubungkan dengan huruf wawu yang menunjukkan kesamaan tindakan.
1.
Fakir (fuqara’) dan miskin (al masakin)
Al-Fuqara’
adalah kelompok pertama yang menerima zakat. Al-Fuqara’ dari kata
al-faqir. Mereka tidak memiliki pekerjaan atau mempunyai pekerjaan tetapi
penghasilan mereka kecil sehingga tidak dapat memenuhi setengah dari
kebutuhannya. Menurut madzab Syafi’i dan Hanbali, al-faqir adalah orang yang
tidak memiliki harta benda dan pekerjaan yang mampu mencukupi kebutuhannya
sehari-hari serta tidak memiliki saudara ataupun kerabat.
Al-Masakin
adalah bentuk jamak dari al-miskin yang mendapatkan zakat yang merupakan
kelompok kedua setelah fuqara’. Mereka memiliki pekerjaan namun dari hasil
bekerjanya mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan hajat hidunya. Definisi tersebut menjelaskan bahwa orang
fakir lebih membutuhkan daripada orang miskin. Berikut ini pendapat menurut
kadar yang diberikan fakir dan miskin untuk mereka yang mempunyai pekerjaan dan
mereka yang tidak memiliki pekerjaan:
a. Mereka
yang memiliki pekerjaan diberikan zakat untuk pekerjaan atau sarana peningkatan
pekerjaannya yang diukur menurut kebutuhan umum sajauh pekerjaan itu
mendapatkan keuntungan. Kebutuhan dapat berbeda menurut kondisi, waktu, dan
tempat.
b. Mereka
yang tidak memiliki pekerjaan mereka diberi zakat sesuai kebutuhannya.
Sebagian ahli fiqh ada yang memasukkan orang yang
menghabiskan waktu mereka untuk menuntut ilmu dalam kategori fuqara’. Walaupun
mereka mampu bekerja maka mereka diberi zakat. Namun bagi mereka yang hanya
menghabiskan waktunya hanya untuk beribadah saja tidak termasuk dalam kategori
fuqara’, karena perbuatan ini hanya untuk dirinya sendiri.
2.
Amil
Amil adalah para pekerja yang telah diserahi oleh
para penguasa atau penggantinya untuk mengambil harta zakat dari manusia,
mengumpulkan, menjaga dan memindahkannya[3].
Meski mereka kaya mereka juga mendapatkan bagian zakat karena telah berjerih
payah membantu mengumpulkan zakat.
Dari Bisyr bin Sa’id bahwa Ibn Sa’di Al Maliki
berkata:”Umar pernah memperkerjakanku dalam pembagian shadaqoh, maka setelah
saya selesaikan pekerjaannya dan saya sampaikan kepadanya ia memerintahkan agar
saya mengambil imbalan dari pekerjaan itu. Maka saya katakana: ‘Pekerjaan ini
hanya untuk Allah”. Umar pun menjawab: “Ambillah apa yang telah diberikan-Nya
kepadamu, sesungguhnya dahulu saya pernah menjadi amil di masa Rasullullah,
maka beliau pun memberikan bagian dari pekerjaanku, saya ketika itu juga
menjawab seperti jawabanmu, kemudian Rasulullah SAW mengatakan kepadaku:
“Apabila kamu diberi sesuatu tanpa meminta maka makanlah atau shadaqohkan.”
(Muttafaq alaih)[4].
Dalam kitab Nailul-authar, hadits tersebut menunjukan bahwa pekerjaan para
petugas pembagi zakat merupakan sebab untuk mendapatkan imbalan.
Sebagian ahli fiqh memperbolehkan memberikan zakat
kepada para hakim atau sepadannya kirena diqiyaskan dengan amil yang memberikan
manfaat kepada umat secara umum. Namun ada pula yang tidak membenarkan
pengqiyasan ini karena keberatan dibolehkannya diberikan kepada orang yang
kaya. Secara syar’i dan logika pengembangan pengelolaan zakat dan pembagiannya
karena pengembangan kehidupan maka butuh yayasan atau badan.
3.
Mu’allaf
Mu’allaf yaitu para tokoh yang disegani dalam
keluarga atau kaumnya dan dapat diharapkan masuk Islam. Mereka adakalanya dari
golongan orang kafir maupun muslim. Kelompok orang kafir ada dua macam yaitu
orang kafir yang menyakiti kaum muslim agar tidak menyakiti kaum muslim dan
orang kafir yang simpati kepada Islam harapannya dengan zakat dapat memeluk
Islam. Kelompok orang Islam:
a.
Para
tokoh Islam yang mempunyai pengikut orang-orang kafir dan berharap orang kafir
memeluk Islam.
b.
Para
tokoh yang disegani pengikutnya tetapi keislamannya masih lemah.
c.
Golongan
yang berada di beteng-beteng pertahanan. Mereka diberi zakat agar melindungi
para muslim disekitarnya.
d.
Golongan
yang berpengaruh terhadap lingkungannya, bila diberi zakat dfapat mempengaruhi
lingkungannya untuk memberikan zakatnya.
Ahli fiqh berbeda pendapat dalam masalah hukum
memberikan zakat kepada mu’allaf setelah Rasulullah wafat, yaitu
a.
Hukum
telah dinasakh (dihapus) seperti pendapat Hanafiyah, Syafi’iyyah, malikiyyah,,
dan Ibadhiyyah.
b.
Tidak
dinasakh karena tidak ada ayat lain yang diturunkan. Pada masa Rasulullah
pemberian zakat untuk kaum muslim dan kafir yang membutuhkan. Pada masa Umar,
Utsman, Ali hal ini tidak dilakukan karena masyarakat tidak membutuhkan zakat.
4.
Riqab (hamba sahaya)
Zakat yang diberikan kepada hamba
sahaya mukatab dimaksudkan agar dirinya dengan adanya zakat dapat memerdekakan
diri dari tuannya. Ada beberapa pendapat mengenai hamba sahaya yang diberikan
zakat.
a. Menurut
imam Nawawi, membatasi hanya hamba sahaya mukatab lah yang diberikan zakat.
b. Dengan
harta zakat, imam membeli hamba sahaya kemudian memerdekakannya. Hal ini
termasuk dalam golongn imam Malik.
c. Pendapat
fiqh baru, Al-Ustadz Mahmud Syaltut ra. Memperbolehkan bagian hamba sahaya
dipergunakan para pejuang untuk mencapai kemerdekaan bangsanya.[5]
d. Zakat
dipergunakan untuk menebus tawanan muslim untuk membebaskannya.
e. Makna
yang menyimpang dari firman Allah “Arriqab” yaitumenurut Muhammad Jawad Riqab
yang diatas namakan kepada Ja’far Ashshaddiq ra. Dalam kitab fiqih Imam Ja’far
Ashshaddiq adalah suatu kaum yang mempunyai kewajiban membayar kafarat dalam
pembunuhan sengaja, dhihar, sumpah dan membunuh hewan buruan di tanah haram
mereka ini muslim yang tidak mampu membayar, maka mereka mendapat bagian
shadaqoh untuk membayarnya.
f. Pendapatnya
menyimpang karena bertentangan dengan hadits. Khabar ini tidak layak diatas namakan kepad Ja’far Ashshiddiq karena beliau
bukan musnad[6].
5.
Gharim (orang yang hutang)
Gharim adalah orang yang berhutang dan tidak digunakan
untuk bermaksiat seperti hutang untuk dirinya, anak, dan istri juga termasuk
hutang untuk menjalankan perintah Allah (haji, umrah, pembiayaan perkawinan). Seseorang
yang berhutang demi kepentingan umum untuk mendamaikan orang lain. Beberapa
pendapat mengenai gharim adalah
a. Orang
yang berhutang lebih didahulukan diberi harta zakat dari pada orang kafir karena
kehidupan mereka yang tidak tenang karena selalu terbayang hutangnya. Maka dari
pada mereka menjual harta bendanya maka lebih baik diberi zakat untuk membayar
hutang dan iapun dapat memanfaatkan harta bendanya.
b. Sebagian
ulama seperti al-Ustazd M. Abu Zahrah, membolehkan memberikan hutang yang tidak
mengandung riba dari zakat.
6.
Ibnu sabil
Ibnu sabil adalah orang yang terhenti dalam
perjalanannya bukan bertujuan maksiat. Perjalanan mereka terhenti karena tidak
memiliki bekal demi memenuhi kebutuhan untuk perjalanannya selanjutnya. Harta
zakat diberikan kepada ibnu sabil untuk memenuhi kebutuhan makan, pakaian, dan
transportasi menuju daerah tujuan meskipun di daerah asal mereka orang kaya.
Tidak ada kewajiban bagi ibnu sabil untuk mengembalikan harta zakat ke baitul
mal sesampainya mereka ke daerah tujuan.
Syaikh Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa orang-orang
yang dipaksa meninggalkan tanah airnya dan terpisah dengan harta bendanya
karena dikuasai tentara zalim. Sehingga mereka melarikan diri demi
mempertahankan agama dan dirinya, mereka ini masuk dalam golongan ini. Bagi
orang yang bermukim di suatu daerah kemudian hartanya habis atau hilang, maka
baginya diperbolehkan mengambil bagian harta zakat untuk memenuhi kebutuhannya
hingga ia dapat kembali memanfaatkan hartanya.
7.
Sabilillah
Sabilillah adalah satu dari kelompok delapan yang
berhak menerima zakat sebagaimana terkandung dalam Q.S. At Taubah: 60. Ada pun
pendapat mengenai sabilillah adalah
a. Fi
Sabilillah adalah jihad menurut imam Abu Hanifah dan muridnya Abu Yusuf, Imam
Syafi’i, imam Malik. Kelompok Imamiyah menambahkan bagian para pejuang gugur
bila tidak ada lagi imam. Menurut mereka imamlah yang menyerukan dan
mengkomandani berjihad.
1. Argumen
mereka adalah secara umum dan syara’ Sabilillah diartikan jihad menurut Q.S. At
Taubah:111. Dalam kitab Nihayah fi Gharibil Hadits: Assabil pada
dasarnya adlah at-thariq bisa di mudzakarkan dan bisa di muannatskan namun
lebih sering imuannatskan[7].
Secara umum Sabilillah adalah melakukan dengn ikhlas untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Jika Sabilillah dimutlakkan maka diartikan jihad.
2. Kajian
atas argumen di atas bahwa membatasi bagian sabilillah hanya untuk mujahid tidak
terdapat pada dalil kitabullah
maupun sunnah
Nabi. Menurut pendapat kebanyakan, Al Qur’an
ketika berbicara tentang jihad selalu disertai dengan ungkapan
Sabilillah, bila dalil dalam ayat shadaqah juga bermakna jihad maka tidak dapat diterima. Sabilillah bukan
hanya diikuti dengan kata jihad tetapi juga nafakah di jalan Allah (Q.S. Al
Baqarah: 195), agama (Q.S. Ali Imran: 99), hijrah (Q.S. An Nisa: 100).
b. Sabda
Rasulullah SAW: ‘Tidak dihalalkan shadaqah it bagi orang kaya, kecuali lima
(orang kaya) untuk orang yang berperang di jalan Allah, amil, orang yang
berhutang, seorang yang memberi zakat dengan hartanya, dan bagi seorang yang
mempunyai tetangga miskin, tetapi jika si miskin tersebut diberi zakat, maka
dihadiahkan kepada yang membrikannya”[8].
Menurut hadits ini meski yang berperang adalah orang kaya maka tetap berhak
menerima zakat.
c. Pendapat
yang lain sabilillah
dimaksudkan untuk haji yang merupakan pendapat oleh Muhammad bin Hasan Asy
Syaibani ra. murid abu Hanifah. Haji adalah sabilillah karena menunaikan haji
berarti mengikuti perintah-perintah dan menaati Allah.
d. Fi
sabilillah adalah menuntut ilmu menurut
madzab Hanafiyyah.
e. Fi
sabilillah adalah semua sarana menuju kebaikan dan untuk kepentingan umum.
Golongan yang Tidak
Berhak Menerima Zakat
1.
Orang-orang kafir, musyrik, dan atheis.
2. Orang tua dan anak yang meliputi
ayah, ibu, kakek, nenek, anak kandung dan cucu laki-laki dan perempuan,
3.
Istri, karena nafkahnya wajib bagi
suami,
4. Orang-orang kaya dan orang-orang
yang mampu untuk bekerja, sebagaimana sesuai Hadis Nabi SAW, dituangkan dalam
(Hadis HR. Ahmad, Nasai dan At Tirmidzi), “Tiada bagian di dalam zakat, untuk
orang-orang kaya, dan tiada pula untuk orang-orang yang mampu untuk bekerja”.
5. Keluarga Rasulullah SAW dan
karib-kerabatnya, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari
Abdul Muttalib bin Rabiah bin Harks, sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya
shadaqah (zakat) itu, tidak halal (haram) bagi Nabi Muhammad SAW dan bagi sanak
keluarganya. Karena sesungguhnya zakat itu adalah kotoran manusia”.
PENUTUP
Para ulama bersepakat bahwa mengeluarkan
zakat itu wajib atas setiap muslim yang sudah baligh dan berakal dan tidak
wajib atas non-muslim karena zakat adalah salah satu rukun Islam. Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang harta
anak kecil dan orang gila, apakah perlu dizakati? Di antara mereka ada yang
berpendapat bahwa harta anak kecil dan orang gila tidak wajib dizakati karena
melihat kepada pembebanan (taklif) secara umum. Diketahui bersama bahwa anak kecil
dan orang gila tidak termasuk orang-orang yang terkenai beban (taklif), maka tidak
wajib menzakati harta mereka. Diantara ulama ada juga yang berpendapat bahwa
mereka wajib mengeluarkan hartanya karena zakat termasuk hak harta tanpa melihat
kepada pemiliknya, karena Allah SWT. berfirman, “Ambillah zakat dari sebagian
harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka.”(At-Taubah: 103). Yang
dijadikan sasaran kewajiban adalah hartanya bukan pemiliknya.
Ada delapan golongan yang berhak menerima
zakat, yaitu: Fakir,
Miskin, Amil, Mu'allaf, Hamba
sahaya yang ingin memerdekakan dirinya, Gharimin, Fi sabilillah,
Ibnu Sabil.
Golongan yang tidak berhak menerima zakat, diantaranya: Orang kaya, Hamba sahaya karena masih mendapat nafkah atau
tanggungan dari tuannya, Keturunan Rasulullah, Orang yang dalam tanggungan yang
berzakat (anak dan istri) dan Orang kafir.
Dalam Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 dijelaskan
prinsip pengelolaan zakat secara profesional dan bertanggungjawab yang
dilakukan oleh masyarakat bersama pemerintah. Pemerintah dalam hal ini
berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzakki,
mustahiq, dan pengelola zakat. Bahwa dari segi kelembagaan tidak ada perubahan
yang fundamental karena amil zakat tidak memiliki power untuk menyuruh orang membayar
zakat. Mereka tidak diregistrasi dan diatur oleh pemerintah seperti halnya
petugas pajak guna mewujudkan masyarakat yang peduli bahwa zakat adalah
kewajiban.
Daftar Pustaka
Abdul, Muhammad Qadir Abu Faris. Kajian Kritis Pendayagunaan Zakat.
Semarang: Dina Utama.
Al-Qur’an dan Terjemahannya
Al-Qurthubi, Al-Jami’ al Bayan Fi Ta’wil Al-Qur’an, Beirut, Daar el Kuhbal
al-Ilmiyah, 1992.
Al-Zuhayly, Wahbah. 1997. Zakat Kajian Berbagai Mazhab. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Asnaini. 2008. Zakat produktif dalam Perspektif Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Yusuf Qardhawi. 2002. Hukum Zakat, Cet. VI. alih bahasa Salman
Harun, dkk. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.
Makalah ini Dibuat Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Fiqh Zakat
Dosen Pengampu:
M. Yazid Afandi
Disusun oleh:
Kelompok 5 KUI-B
1. Ayi
Rezki Faizan Nur (09390045)
2. Vina
Rahmatika Coryaina (09390046)
3. Rafikha
Rustianah Mustafidan (09390052)
4. Siti
Maria Ulfah Taufindrayati (09390053)
5. Niken
Faramida (09390056)
PROGRAM STUDI KEUANGAN ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA 2011
[1]
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 2/883.
[2]
Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, Cet. VI, Alih Bahasa Salman Harun, dkk, Bogor,
Pustaka Litera Antar Nusa,2002.
[3] Kajian Kritis Pendayagunaan zakat, Dr.
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Dina Utama: Semarang, hlm.6.
[4] Ibid
hal 6
[5]Abdul,
Muhammad qadir abu faris. kajian kritis
pendayagunaan zakat. Semarang: Dina Utama, hal 15
[7] Ibid
hal 26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar